Suatu kali, mata saya tertumbuk dengan tingkah seekor semut yang tengah
berjalan di atas lantai keramik mengkilap. Entah mengapa tiba-tiba langkahnya
terhenti. Saya yakin tentu bukan karena terpesona dengan lantai keramik yang diinjaknya,
karena ia memang tak terlalu peduli dengan hal itu. Rupanya, sepotong makanan
tampak bertengger di depan matanya. Hoi, rezeki nih, mungkin begitu pikirnya.
Ia tak mencoba mengangkatnya sendiri. Makanan yang didepannya terlalu
besar dibandingkan tubuh dan kekuatannya. Tampak bergegas ia pergi ke arah yang
tak jelas. Ia hilang begitu saja dari penglihatan saya. Namun tak berapa lama,
beberapa ekor semut tampak berjalan menuju ke arah sepotong makanan tadi. Oh,
rupanya ia mengundang teman-temannya untuk membantu perjuangannya mengangkat
sepotong makanan besar tadi. Beberapa ekor semut pun bahu-membahu menggotong
rezeki mereka hari itu. Pelan, tertatih-tatih, berat, dan (mungkin) keringatan.
Satu tempat yang mereka tuju, satu jalan yang mereka tempuh. Menuju sarang
masyarakat semut.
Tampaknya, tak ada seekor semut pun yang merasa paling berjasa sehingga
menganggap ‘makanan besar’ sebagai hak milik pribadinya. Tak ada seekor juga
yang berpikir “Daripada dibawa ke sarang, lebih baik kusimpan sendiri di tempat
kediaman pribadiku”. Apalagi berkeinginan untuk menendang kawan-kawan semut
seperjuangan. Tak ada. Semut terlalu setia untuk tidak berbuat hal-hal yang
merusak ‘ukhuwah’ seperti itu. semua makanan dibawa ke sarang dan disanalah
dibagi dengan adil. Dari ratu, tentara, hingga pekerja kasar semut
masing-masing mendapatkan bagian-bagian yang layak sesuai hak dan kewajibannya.
Allahu Akbar, Allah jua yang menciptakan itu. Dan Allah yang menjadikan
segalanya ada hikmahnya.
Takjub benar saya melihat aktivitas ‘persaudaraan’ semut yang luar biasa
tadi. Walau bukan berkeinginan untuk menjadi semut, tapi terus terang saya ‘iri’
dengan kompaknya masyarakat semut tadi. Semut kadang lebih ngerti dengan
saudaranya, daripada sebagian manusia dengan saudaranya. Semut tak pernah lupa
dengan kawan seperjuangannya hanya karena sepotong harta. Sedangkan manusia?
Semut dapat berbagi adil kepada masyarakatnya, manusia banyak yang
berbuat sebaliknya. Semut bisa bekerja dengan rapi dan terorganisir sesuai
tugasnya. Semut tak pernah cakar-cakaran dengan temannya karena urusan makanan
belaka. Semut,....?! saya tersentak dari pikiran yang menerawang. Kaki saya
tiba-tiba terasa begitu sakit, panas, dan agak gatal. Satu lagi, semut
terkadang menggigit manusia yang usil padanya. Ah...semut.
Dikutip dari
artikel majalah El-fata edisi 02/IV/2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan bijak...